Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi Saw. setelah selesainya Perang Badar, menuju tempat pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang tewas ketika itu, dan memanggil nama-nama mereka satu per satu: "Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai 'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar." Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?" Beliau menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab saya." Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata: "Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]: 169)." Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan beliau bersabda, 'Arwah mereka di dalam rongga burung (berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahaya di surga, ke mana pun kami kehendaki?" Tuhan melakukan hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu (sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan."' Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib bahwa beliau bertanya kepada Yunus bin Zibyan: "Bagaimana pendapat orang tentang arwah orang-orang mukmin?" Yunus menjawab: "Mereka berkata bahwa arwahnya berada di rongga burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita di bawah 'Arsy llahi." Ali bin Abi Thalib berkomentar: Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau, wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia. Boleh jadi ada saja yang bertanya bagaimana kehidupan itu? Kita tidak dapat menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya hal tersebut lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian rtwayat yang dijadikan pegangan. Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki "jasad berganda": pertama, jasad duniawi; dan kedua, jasad barzakhi. Mustafa dalam --Baina 'Alamain-- setelah mengutip sekian banyak pendapat ulama tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan gelombang-gelombang suara. Contoh konkret yang dikemukakannya adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling masuk-memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu. Apa yang dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran, antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang sekarat: Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS AlWaqi'ah [56]: 83-85). Atau firman-Nya: Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39). Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban Nabi Saw. ketika kaum Muslim mempertanyakan pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh kaum musyrik yang gugur dalam peperangan Badar) sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam Baina 'Alamain hlm. 51) Akhirnya betapa pun terdapat sekian banyak ayat dengan penafsiran-penafsiran di atas, serta ada pula riwayat-riwayat dari berbagai sumber dan kualitas, namun kita tidak dapat mencap mereka yang mengingkari kehidupan barzakh, sebagai orang-orang yang keluar dari keimanan atau ajaran Islam, selama mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini disebabkan karena akidah harus diangkat dari nash keagamaan yang pasti, yaitu Al-Quran dan maknanya pun harus pasti. sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah. KEHIDUPAN AKHIRAT Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala: Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit sehingga hari itu langit menjadi lemah (QS Al-Haqqah [69]: 13-16). Dalam ayat lain dijelaskan bahwa: ... dan ditiup sangkakala sehingga matilah siapa (rnakhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah (QS Al-Zumar [39]: 68). Yang dikecualikan antara lain adalah malaikat Israfil yang bertugas meniup sangkakala itu. Ini karena masih akan ada peniupan kedua sebagaimana lanjutan ayat di atas: Kemudian ditiupkan sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka (semua yang telah mati) berdiri menunggu (putusan Tuhan terhadap masing-masing) (QS Al-Zumar [39]: 68). Banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang kehancuran alam raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahayanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang beterbangan bagaikan kapas, dan sebagainya. Itu semua merupakan kehancuran total, bukan kehancuran bagian tertentu saja dari alam raya ini. Begitu manusia dihidupkan kembali dengan peniupan sangkakala kedua, tiba-tiba: Sambil menundukkan pandangan, mereka keluar dari kubur mereka bagaikan belalang yang beterbangan. Mereka datang dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang kafir -ketika itu- berkata: "Ini adalah hari yang sulit." (QS Al-Qamar [54]: 7-8). Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah yang mengetahui kadar waktu itu. Dan ketika semua makhluk telah meninggal, termasuk Israfil, Allah Swt. "berseru" dan "bertanya": Kepunyaan siapakah kerajaan/kekuasaan hari ini? (Kemudian Allah menjawabnya sendiri): "Kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan" (QS Mu'min [40]: 16). Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa kehidupan di dunia hanya sebentar (QS Al-Isra' [17]: 43) bahkan mereka merasa hanya bagaikan boberapa saat di sore atau pagi hari (QS Al-Nazi'at [79]: 46). Dari sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk menghadapi pengadilan Ilahi): Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu penyaksi (QS Qaf [50]: 21). Penggiring adalah malaikat dan penyaksi adalah diri manusia sendiri yang tidak dapat mengelak, atau amal perbuatannya masing-masing. Begitu penafsiran para ulama. Dan ketika itu terjadilah pengadilan agung. Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan, dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Nur [24]: 24). Bahkan boleh jadi, mulut mereka ditutup dan yang berbicara adalah tangan mereka kemudian kaki mereka yang menjadi saksi-saksinya Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36): 65. Yang ingin diinformasikan oleh ayat-ayat di atas dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu tidak ada yang dapat mengelak, tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu di hadapan pengadilan yang maha agung itu. Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari kebaikan). maka dia akan melihat (ganjarannya) (QS Az-Zilzal [99]: 7). Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8). Pengadilan Ilahi itu akan diadakan terhadap setiap pribadi mukalaf, "Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95) Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada yang teraniaya karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21]: 47). Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak, tidaklah banyak pengaruhnya dalam akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah: Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami (QS Al-A'raf [7]: 8-9) Hasil pencatatan amal manusia yang ditimbang itu, akan diserahkan kepada setiap orang: Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan gembira) ia berkata: "Inilah, bacalah kitabku ini. Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai; dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)." Adapun yang diberikan kepadanya kitabnya dari arah kirinya, maka dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku. Aduhai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" (QS Al-Haqqah [69]: 19-29). Dari mahsyar (tempat berkumpul), manusia menuju surga atau neraka. Beberapa ayat dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui apa yang dinamai " shirath" . Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim (QS Al-Shaffat [37]: 23). Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman: Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka dapat melihatnya? (QS Ya Sin [36]: 66). Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa: Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka dalam keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72). Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju surga. Di bawah jalan (jembatan) itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan sesuai dengan kualitas ketakwaan mereka. Ada yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga yang merangkak, tetapi akhirnya tiba juga. Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka. Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang, [kalimat dalam bahasa Arab] Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Para ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di atas, lebih-lebih melukiskannya "dengan sehelai rambut di belah tujuh". Memang, melukiskannya seperti itu, paling tidak, bertentangan dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath. Kata tersebut berasal dari kata saratha yang arti harfiahnya adalah "menelan". Kata shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia menelan setiap yang berjalan di atasnya.
Minggu, 18 Maret 2012
KEHIDUPAN AKHIRAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar