Minggu, 18 Maret 2012

KEHIDUPAN AKHIRAT

Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan  sebuah  riwayat  bahwa
Nabi  Saw.  setelah  selesainya  Perang  Badar,  menuju tempat
pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang  tewas  ketika  itu,
dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:
 
   "Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai
   'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai
   Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah
   kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan
   kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah
   menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar."
   Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai
   Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan
   kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?" Beliau
   menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka
   (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka
   tidak dapat menjawab saya."
 
Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:
 
   "Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin
   Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira
   orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah
   orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan
   mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]:
   169)." Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami
   telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan
   beliau bersabda, 'Arwah mereka di dalam rongga burung
   (berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung
   di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun
   mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke
   pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka
   dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian
   menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apalagi yang
   kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahaya
   di surga, ke mana pun kami kehendaki?" Tuhan melakukan
   hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika
   mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa
   meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami
   ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami
   sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu
   (sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa
   mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih
   dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka
   dibiarkan."'
 
Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali  bin  Abi  Thalib
bahwa  beliau  bertanya  kepada  Yunus  bin Zibyan: "Bagaimana
pendapat  orang  tentang  arwah  orang-orang  mukmin?"   Yunus
menjawab:  "Mereka  berkata  bahwa  arwahnya  berada di rongga
burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita  di  bawah  'Arsy
llahi." Ali bin Abi Thalib berkomentar:
 
   Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi
   Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau,
   wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah,
   ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana
   wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum,
   sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka
   mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia.
 
Boleh jadi ada saja yang  bertanya  bagaimana  kehidupan  itu?
Kita  tidak  dapat  menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha
mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya  hal  tersebut
lebih   banyak  merupakan  kemungkinan,  walaupun  ada  sekian
rtwayat yang dijadikan pegangan.
 
Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa  manusia  memiliki
"jasad  berganda":  pertama,  jasad  duniawi; dan kedua, jasad
barzakhi. Mustafa dalam --Baina  'Alamain--  setelah  mengutip
sekian  banyak  pendapat  ulama  tentang hal di atas, berusaha
untuk menjelaskan hal  tersebut  dengan  teori  frekuensi  dan
gelombang-gelombang  suara. Contoh konkret yang dikemukakannya
adalah radio yang dapat menangkap  sekian  banyak  suara  yang
berbeda-beda  melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia
saling  masuk-memasuki,  namun  ia  tidak  menyatu  dan  tetap
berbeda.  Ini  pula  yang  menjadikan  kita  tak dapat melihat
sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat
perbedaan  frekuensi  dan  gelombang-gelombang  itu.  Apa yang
dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran,
antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang
sekarat:
 
   Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke
   kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang
   sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat
   kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS
   AlWaqi'ah [56]: 83-85).
 
Atau firman-Nya:
 
   Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat
   dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
 
   Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang
   dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya
   telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan
   dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata,
   dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya,
   sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat
   oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut
   menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua,
   dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata
   kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban
   Nabi Saw. ketika kaum Muslim mempertanyakan
   pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh
   kaum musyrik yang gugur dalam peperangan Badar)
   sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam
   Baina 'Alamain hlm. 51)
 
Akhirnya  betapa  pun  terdapat  sekian  banyak  ayat   dengan
penafsiran-penafsiran  di atas, serta ada pula riwayat-riwayat
dari berbagai sumber dan  kualitas,  namun  kita  tidak  dapat
mencap  mereka  yang  mengingkari  kehidupan  barzakh, sebagai
orang-orang yang  keluar  dari  keimanan  atau  ajaran  Islam,
selama  mereka  tetap  mengucapkan  dua  kalimat syahadat. Ini
disebabkan karena akidah harus diangkat  dari  nash  keagamaan
yang  pasti,  yaitu  Al-Quran  dan  maknanya  pun harus pasti.
sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum
mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah.
 
KEHIDUPAN AKHIRAT
 
Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala:
 
   Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan
   diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan
   keduanya sekali bentur. Maka hari itu terjadilah hari
   kiamat, dan terbelahlah langit sehingga hari itu
   langit menjadi lemah (QS Al-Haqqah [69]: 13-16).
 
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
 
   ... dan ditiup sangkakala sehingga matilah siapa
   (rnakhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa
   yang dikehendaki Allah (QS Al-Zumar [39]: 68).
 
Yang dikecualikan antara lain  adalah  malaikat  Israfil  yang
bertugas  meniup  sangkakala  itu.  Ini  karena masih akan ada
peniupan kedua sebagaimana lanjutan ayat di atas:
 
   Kemudian ditiupkan sangkakala itu sekali lagi, maka
   tiba-tiba mereka (semua yang telah mati) berdiri
   menunggu (putusan Tuhan terhadap masing-masing) (QS
   Al-Zumar [39]: 68).
 
Banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang  kehancuran
alam  raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang
pudar cahayanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yang
beterbangan   bagaikan   kapas,   dan  sebagainya.  Itu  semua
merupakan kehancuran total, bukan kehancuran  bagian  tertentu
saja dari alam raya ini.
 
Begitu  manusia  dihidupkan kembali dengan peniupan sangkakala
kedua, tiba-tiba:
 
   Sambil menundukkan pandangan, mereka keluar dari kubur
   mereka bagaikan belalang yang beterbangan. Mereka
   datang dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang
   kafir -ketika itu- berkata: "Ini adalah hari yang
   sulit." (QS Al-Qamar [54]: 7-8).
 
Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah
yang  mengetahui  kadar  waktu  itu.  Dan ketika semua makhluk
telah meninggal, termasuk Israfil, Allah  Swt.  "berseru"  dan
"bertanya":
 
   Kepunyaan siapakah kerajaan/kekuasaan hari ini?
   (Kemudian Allah menjawabnya sendiri): "Kepunyaan Allah
   yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan" (QS Mu'min [40]:
   16).
 
Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa  kehidupan  di  dunia
hanya  sebentar  (QS  Al-Isra'  [17]: 43) bahkan mereka merasa
hanya bagaikan boberapa  saat  di  sore  atau  pagi  hari  (QS
Al-Nazi'at [79]: 46).
 
Dari  sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk
menghadapi pengadilan Ilahi):
 
   Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu
   penyaksi (QS Qaf [50]: 21).
 
Penggiring adalah malaikat dan penyaksi  adalah  diri  manusia
sendiri  yang  tidak  dapat  mengelak,  atau amal perbuatannya
masing-masing. Begitu penafsiran para ulama.
 
Dan ketika itu terjadilah pengadilan agung.
 
   Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah
   lidah, tangan, dan kaki mereka, menyangkut apa yang
   dahulu mereka lakukan (QS Al-Nur [24]: 24).
 
Bahkan boleh jadi, mulut mereka  ditutup  dan  yang  berbicara
adalah   tangan  mereka  kemudian  kaki  mereka  yang  menjadi
saksi-saksinya Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36):
65.
 
Yang   ingin   diinformasikan   oleh  ayat-ayat  di  atas  dan
semacamnya adalah bahwa pada hari itu  tidak  ada  yang  dapat
mengelak,  tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu di
hadapan pengadilan yang maha agung itu.
 
   Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari
   kebaikan). maka dia akan melihat (ganjarannya) (QS
   Az-Zilzal [99]: 7).
 
Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).
 
Pengadilan Ilahi itu akan  diadakan  terhadap  setiap  pribadi
mukalaf,
 
   "Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan
   datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang
   hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah
   mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang
   teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
   dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95)
 
Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak
ada  yang  teraniaya  karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan
akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21]:  47).
Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya
kiasan tentang keadilan mutlak,  tidaklah  banyak  pengaruhnya
dalam  akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi
sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:
 
   Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa
   yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka
   adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan
   timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang
   merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu
   mengingkari ayat-ayat Kami (QS Al-A'raf [7]: 8-9)
 
Hasil  pencatatan  amal  manusia  yang  ditimbang  itu,   akan
diserahkan kepada setiap orang:
 
   Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab
   (catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan
   gembira) ia berkata: "Inilah, bacalah kitabku ini.
   Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku yakin bahwa
   sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas
   diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang
   diridhai; dalam surga yang tinggi, buah-buahannya
   dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah
   dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu
   kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)." Adapun
   yang diberikan kepadanya kitabnya dari arah kirinya,
   maka dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya kiranya
   tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak
   mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku.
   Aduhai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan
   segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi
   manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" (QS
   Al-Haqqah [69]: 19-29).
 
Dari mahsyar (tempat berkumpul),  manusia  menuju  surga  atau
neraka.  Beberapa  ayat  dalam Al-Quran menginformasikan bahwa
dalam perjalanan ke sana mereka melalui  apa  yang  dinamai  "
shirath" .
 
   Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim
   (QS Al-Shaffat [37]: 23).
 
Dalam  konteks  pembicaraan  tentang   hari   akhirat,   Allah
berfirman:
 
   Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan
   penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba
   (mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka
   dapat melihatnya? (QS Ya Sin [36]: 66).
 
Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa:
 
   Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali
   melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah
   suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian
   Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan
   membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka
   dalam keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72).
 
Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa
ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui
setiap orang menuju  surga.  Di  bawah  jalan  (jembatan)  itu
terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin
akan  melewatinya  dengan  kecepatan  sesuai  dengan  kualitas
ketakwaan  mereka.  Ada  yang melewatinya bagaikan kilat, atau
seperti angin berhembus, atau secepat lajunya  kuda;  dan  ada
juga  yang  merangkak,  tetapi  akhirnya  tiba juga. Sedangkan
orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka  jatuh
ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.
 
Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari
pedang,
 
   [kalimat dalam bahasa Arab]
 
Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh  Bukhari
dan Muslim.
 
Para  ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional
menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di  atas,
lebih-lebih  melukiskannya  "dengan  sehelai  rambut  di belah
tujuh".  Memang,  melukiskannya  seperti  itu,  paling  tidak,
bertentangan  dengan  pengertian kebahasaan dari kata shirath.
Kata tersebut berasal dari kata saratha yang  arti  harfiahnya
adalah  "menelan".  Kata  shirath antara lain diartikan "jalan
yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia  menelan
setiap yang berjalan di atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar